for any of you who opened this blog,
I hope this blog useful for all of us.
Although there are still many shortcomings, but the important of this is all of us still HEPI IN HEPI OUT
:D

Jumat, 25 Juli 2014

ACHMAD MIFTACHUL HUDA

Who is he?


He is one of the man that important for me. He have a shiny skin and beautiful lips. I Love everything on him. :*
He always give the best for me, he really care much to me than everyone else. I know that he love me although he never say it to me, he just showed it by his attitude everyday to me. I know that our feeling is more than words. And I hope he knows that I really love him too

I don’t know the exactly when we start to care each other, but i just know that we really scared about to loss each other. Our relationship is complicated but I hope that he is the best give from God to my life, and I hope i can be like that as well for him too. My happiness is when I saw him was smiling full of happiness. You are my world, you are my soul, you are my love.


God, please take care of him doing well for me.
our first date

GAYA MENGAJAR GURU



GAYA  MENGAJAR  GURU

          Bagaimanakah gaya mengajar guru yang terbaik dan yang ideal itu?
            Masalahnya disini adalah bukan tentang bagaimana gaya mengajar guru yang paling baik, melainkan mengenai gaya mengajar guru yang tepat dan sesuai, sesuai dengan apa? Sesuai dengan karakteristik siswa Anda dan sesuai dengan kebutuhan pengajaran Anda di kelas. Untuk mengetahui gaya mengajar manakah yang tepat dan sesuai untuk Anda gunakan, sebelumnya Anda harus mengetahui bagaimana karakteristik siswa Anda dan apa tujuan pembelajaran Anda. Agar Anda lebih banyak mengetahui tentang gaya mengajar guru, berikut akan saya uraikan mengenai pengertian serta berbagai macam gaya mengajar guru beserta ciri-cirinya.
1.             Pengertian Gaya Mengajar Guru
Gaya adalah suatu pembawaan seseorang yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor alamiah seperti karakteristik. Gaya menjadi ciri khas yang dibawa seseorang dalam melakukan aktivitas. Mengajar pada hakikatnya bermaksud mengantarkan siswa mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya, dalam praktek perilaku mengajar yang dipertunjukkan guru sangat beraneka ragam. Aneka ragam perilaku guru dalam mengajar ini bila ditelusuri akan diperoleh gambaran pola umum interaksi antara guru, isi, atau bahan pelajaran dan siswa. Pola umum ini oleh Dianne Lapp dan kawan-kawan (dalam Ali, 2010: 57) diistilahkan dengan gaya mengajar atau teaching style.
Sedangkan menurut Suparman (2010: 60), “mengajar yang baik adalah mengajar dengan sepenuh hati, ikhlas, inovatif, memunculkan motivasi belajar dan minat belajar serta tentunya meningkatkan prestasi belajar. Dalam mengajar akan berhasil jika memiliki metode atau gaya mengajar yang jelas, terarah, memiliki tujuan dan sistematis”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah upaya untuk memberikan pengarahan, bimbingan, maupun rangsangan kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan belajar dan meningkatkan hasil belajar.
Suparman (2010: 63) mengemukakan bahwa gaya mengajar adalah cara atau metode yang dipakai guru ketika sedang melakukan pengajaran. Menurut Thoifuri (2013:81), gaya mengajar adalah bentuk penampilan guru saat mengajar, baik yang bersifat kurikuler maupun psikologis. Gaya mengajar yang bersifat kurikuler adalah guru mengajar yang disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran tertentu. Gaya mengajar yang bersifat psikologis adalah guru mengajar yang disesuaikan dengan motivasi siswa, pengelolaan kelas dan evaluasi hasil belajar.
Menurut Thoifuri (2013: 87) dalam bukunya menjadi guru inisiator , pendekatan dalam mengajar merupakan proses penentuan cepat tidaknya siswa mencapai tujuan belajar. Pendekatan gaya mengajar akan menjadi tepat guna jika selaras dengan tujuan, materi pelajaran,dan minat serta kebutuhan siswa, baik dilakukan dalam bentuk pengajaran kelompok maupun individual. Menurut Grasha (2002: 1) Style in teaching is more than a superficial collection of interesting mannerisms used to create an impression.
Ali (2010: 57) menyimpulkan bahwa gaya mengajar yang dimiliki oleh seorang guru mencerminkan pada cara melaksanakan pengajaran, sesuai dengan pandangannya sendiri. Di samping itu landasan psikologis, terutama teori belajar yang dipegang serta kurikulum yang dilaksanakan juga turut mewarnai gaya mengajar guru yang bersangkutan.
Dari penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya mengajar adalah suatu cara atau bentuk penampilan seorang guru dalam menanamkan pengetahuan, membimbing, mengubah atau mengembangkan kemampuan, perilaku dan kepribadian siswa dalam mencapai tujuan proses belajar. Dengan demikian, gaya mengajar guru merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan proses belajar siswa. Oleh karena itu, apabila seorang guru memiliki gaya mengajar yang baik, maka diharapkan hasil belajar siswa juga menjadi lebih baik.
2.             Macam-macam Gaya Mengajar
Menurut Ali (2010: 59-61), gaya-gaya mengajar dapat dibedakan ke dalam empat macam, yaitu:
a.                  Gaya Mengajar klasik
Proses pengajaran dengan gaya klasik berupaya untuk memelihara dan menyampaikan nilai-nilai lama dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Isi pelajaran berupa sejumlah informasi dan ide yang paling popular dan dipilih dari dunia yang diketahui anak. Oleh karenanya, isi pelajaran bersifat objektif, jelas, dan diorganisasi secara sistematis-logis. Proses penyampaian bahan tidak didasarkan atas minat anak, melainkan pada urutan tertentu. Peran guru di sini sangat dominan, karena dia harus menyampaikan bahan. Oleh karenanya guru harus ahli (expert) tentang pelajaran yang dipegangnya. Dengan demikian proses pengajaran bersifat pasif, yakni siswa diberi pelajaran.
Gaya mengajar seperti ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya manakala kondisi kelas yang mengharuskan guru berbuat demikian, yaitu kondisi kelas dimana siswanya mayoritas pasif. Gaya mengajar klasik sudah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembelajaran sekarang yang sudah bergeser dari paradigma teacher centered menjadi student centered. Pergeseran paradigma ini disebabkan oleh maju pesatnya ilmu pengetahuan dengan bantuan teknologi canggih, jadi apabila masih ada guru yang menggunakan gaya mengajar guru klasik maka secara tidak langsung akan menghambat kemajuan siswa.
Menurut Thoifuri (2013: 83-84) ciri-ciri gaya mengajar klasik adalah:
·      Bahan pelajaran, berupa: sejumlah informasi dan ide yang sudah populer dan diketahui siswa, bersifat obyektif, jelas, sistematis, dan logis.
·      Proses penyampaian materi: menyampaikan nilai-nilai lama dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya yang bersifat memelihara, tidak didasarkan pada minat siswa, hanya didasarkan urutan tertentu.
·      Peran siswa: pasif, hanya diberi pelajaran untuk didengarkan.
·      Peran guru: dominan, hanya menyampaikan bahan ajar, otoriter, namun ia benar-benar ahli.
b.                  Gaya Mengajar Teknologis
Fokus gaya mengajar ini pada kompetensi siswa secara individual. Bahan pelajaran disesuaikan dengan tingkat kesiapan anak. Peranan isi pelajaran adalah dominan. Oleh karena itu, bahan disusun oleh ahlinya masing-masing. Bahan itu bertalian dengan data objektif dan keterampilan yang dapat menuntun kompetensi vokasional siswa. Peranan siswa di sini adalah belajar dengan menggunakan perangkat atau media. Dengan hanya merespons apa yang diajukan kepadanya melalui perangkat itu, siswa dapat mempelajari apa yang dapat bermanfaat bagi dirinya dalam kehidupan. Peranan guru hanya sebagai pemandu (guide), pengarah (director), atau pemberi kemudahan (facilitator) dalam belajar karena pelajaran sudah diprogram sedemikian rupa dalam perangkat, baik lunak (software) maupun keras (hardware).
Menurut Thoifuri (2013: 84) gaya mengajar teknologis mensyaratkan guru untuk berpegang pada media yang tersedia. Guru mengajar dengan memperhatikan kesiapan siswa dan selalu memberikan rangsangan pada anak didiknya untuk mampu menjawab persoalan.
Kebebasan siswa untuk memilih mata pelajaran dan diperkenankan menggunakan seperangkat media yang ada, maka bukan akan mengurangi peran guru, melainkan guru hendaknya terus memantau perkembangan anak belajar sehingga hasil belajar siswa diperoleh secara maksimal.
Menurut Thoifuri (2013: 84-85) ciri-ciri gaya mengajar teknologis adalah sebagai berikut:
·      Bahan pelajaran: terprogram sedemikian rupa dalam perangkat lunak (software) dan keras (hardware) yang ditekankan pada kompetensi siswa secara individual, disusun oleh ahlinya masing-masing, materi ajar terkait dengan data obyektif dan keterampilan siswa untuk menunjang kompetensinya.
·      Proses penyampaian materi: menyampaikan sesuai dengan tingkat kesiapan siswa, memberi stimulan pada siswa untuk dijawab.
·      Peran siswa: mempelajari apa yang dapat memberi manfaat pada dirinya, dan belajar dengan menggunakan media secukupnya, merespon apa yang diajukan kepadanya dengan bantuan media.
·      Peran guru: pemandu (membimbing siswa dalam belajar), pengarah (memberikan petunjuk pada siswa dalam belajar), fasilitator (memberi kemudahan pada siswa dalam belajar).
c.                  Gaya Mengajar Personalisasi
Gaya mengajar guru menjadi salah satu kunci keberhasilan siswa. Pada dasarnya guru mengajar bukan untuk memandaikan siswa semata, akan tetapi juga memandaikan pada dirinya. Guru yang mempunyai prinsip seperti ini, ia akan selalu meningkatkan belajarnya dan juga memandang anak didiknya seperti dirinya sendiri. Guru tidak bisa memaksa peserta didiknya untuk menjadi sama dengan gurunya, karena ia mempunyai minat, bakat dan kecenderungan masing-masing.
Menurut Ali (2010: 60) pengajaran personalisasi dilakukan berdasarkan atas minat, pengalaman, dan pola perkembangan mental siswa. Hal ini karena setiap siswa mempunyai minat, bakat, dan kecenderungan masing-masing yang tidak dapat dipaksakan oleh guru. Siswa harus dipandang sebagai seorang pribadi yang mempunyai potensi untuk dikembangkannya. Oleh karena itu, peran guru sangat dibutuhkan untuk memposisikan dirinya sebagai mitra belajar siswa dengan memberikan bantuan atas perkembangan siswa dalam berbagai aspek.
Menurut Thoifuri (2013: 86) ciri-ciri gaya mengajar personalisasi yaitu:
·      Bahan pelajaran: disusun secara situasional sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa secara individual.
·      Proses penyampaian materi: menyampaikan sesuai dengan perkembangan mental, emosional, dan kecerdasan siswa.
·      Peran siswa: dominan dan dipandang sebagai pribadi.
·      Peran guru: membantu menuntun perkembangan siswa melalui pengalaman belajar, menjadi psikolog, menguasai metode pengajaran dan sebagai nara sumber.
d.                  Gaya Mengajar Interaksional
Kehidupan manusia (siswa) disamping sebagai makhluk individu juga makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, ia hendaknya melakukan interaksi sosial dengan berbagai problematika yang harus dihadapi. Siswa dihadapkan pada suatu realitas yang beraneka ragam. Oleh karenanya, dalam pembelajaran ia diberi kesempatan luas untuk memilih program studi yang sesuai dengan program studi yang sesuai dengan masyarakat kekinian. Siswa juga dilibatkan dalam pembentukan interaksi sosial yang mengharuskan ia mampu belajar secara mandiri.
Peranan guru dan siswa di sini sama-sama dominan. Guru dan siswa berupaya untuk memodifikasi berbagai ide atau ilmu pengetahuan yang dipelajari untuk mencari bentuk baru berdasarkan kajian yang bersifat radikal. Guru dalam hal ini menciptakan iklim saling ketergantungan dan timbulnya dialog antar siswa. siswa belajar melalui hubungan dialogis. Dia mengemukakan pandangannya tentang realita, juga mendengarkan pandangan siswa lain. Dengan demikian dapat ditemukan pandangan baru hasil pertukaran pikiran tentang apa yang dipelajari. Adapun isi pelajaran difokuskan kepada masalah-masalah yang berkenaan dengan sosio-kultural terutama yang bersifat kontemporer.
Menurut Thoifuri (2013: 86-87) ciri-ciri gaya mengajar interaksionis yaitu:
·      Bahan pelajaran: berupa masalah-masalah situasional yang terkait dengan sosio-kultural dan kontemporer.
·      Proses penyampaian materi: menyampaikan dengan dua arah, dialogis, tanya jawab guru dengan siswa, siswa dengan siswa.
·      Peran siswa: dominan, mengemukakan pandangannya tentang realita, mendengarkan pendapat temannya, memodifikasi berbagai ide untuk mencari bentuk baru yang lebih tajam dan valid.
·      Peran guru: dominan, menciptakan iklim belajar saling ketergantungan, dan bersama siswa memodifikasi berbagai ide atau pengetahuan untuk mencari bentuk baru yang lebih tajam dan valid.
Dari berbagai pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya mengajar guru menurut Ali dan Thoifuri dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu gaya mengajar klasik, teknologis, personalisasi, dan interaksional. Apapun gaya mengajar mengajar yang digunakan oleh seorang guru hendaknya sesuai dengan tujuan pembelajaran agar dapat menunjang proses belajar siswa dan mendapatkan hasil yang optimal.
*      Sumber:
©        Ali, Muhammad. 2010. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
©        Thoifuri. 2013. Menjadi Guru Inisiator. Semarang: Media Campus.

Minggu, 05 Mei 2013

ALLAH IS THE ONLY GUIDE

TEPAT.
Tepat di bulan ini.
Tepat di bulan ini entah tanggal berapa.
Aku tak ingin mengingat tanggal buruknya.

Aku hanya ingin mengingat kenangan indahnya.
Aku hanya ingin mengingat kenangan indahnya yang membawa kebaikan tuk masing-masing dari kami

hati ini sangat berbunga indah
ketika KAU sapa aku dengan kasih-MU
ku panjatkan syukur hanya kepada-MU ya Robb
karena aku masih dapat merasakan nikmatnya teguran cinta-MU

ketika Allah menyapaku
aku dapat merasakan kesyahduan
dalam setiap hembus nafas dan detak jantungku
aku juga dapat merasakan nikmatnya hidup
karena telah KAU tegur aku dengan cinta-MU

ketika Allah menyapaku
aku berusaha memperkuat imanku
aku berusaha memperteguh ketaqwaanku
aku berusaha memperkuat istiqhomahku
serta memperkaya sabar yang berbuahkan ikhlas
alangkah indahnya kasih-Mu ya Robb 
karena telah KAU tegur aku dengan cinta-MU
ketika Allah menyapaku
aku belajar untuk mengenal arti 
dari sebuah pengorbanan, keikhlasan dan ketulusan
yang ku jadikan sebagai pengukir senyum di bibirku
karena telah KAU tegur aku dengan cinta-MU

ketika Allah menyapaku
telah aku sadari,,,bahwa diriku ini
hanyalah setitik debu yang berlumur dosa 
dan tak berarti apa apa tanpa cinta dan kasih-MU

Sabtu, 04 Mei 2013

ATRIBUSI


            Atribusi adalah kesimpulan yang dibuat oleh seseorang untuk menerangkan mengapa orang lain melakukan suatu perbuatan. Penyebab yang dimaksud biasanya adalah disposisi pada orang yang bersangkutan. Dengan demikian teori-teori atribusi adalah usaha untuk menerangkan bagaimana suatu sebab menimbulkan perilaku tertentu. Sejauh ini di dalam psikologi social dikenal ada tiga teori dalam kaitannya dengan atribusi yaitu : 

A. Theory of Correspondent Inferences
Dikembangkan oleh Edward James dan Keith Davis. Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan (correspondent inference). Ini berbeda dengan keadaan, dimana banyak orang melakukan hal yang sama. Misalnya, seorang yang menyampaikan rasa simpati terhadap suatu musibah belum bisa dikatakan sebagai orang yang simpatik, sebab sebagian orang memang melakukan hal yang serupa. Bagaimana mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan karakteristik atau sikap ? Ada beberapa cara untuk melihat ada atau tidak hubungan antara keduanya :   
  1. Dengan melihat kewajaran perbuatan atau perilaku. Orang yang bertindak wajar sesuai dengan keinginan masyarakat (social desirability), sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya itu cerminan dari karakternya. Sebaliknya, akan lebih mudah untuk menebak bahwa perilakunya merupakan cerminan dari karakter dia bila dia melakukan sesuatu yang kurang wajar. Contohnya : orang yang berjalan sesuai dengan jalur sulit untuk ditebak bahwa perilaku itu mencerminkan karakternya. Namun bila dijumpai ada seseorang yang berjalan menerabas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan itu adalah cerminan dari karakternya, yaitu tidak patuh pada aturan.
  2. Pengamatan terhadap perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan beberapa pilihan. Pada situasi yang tidak memberikan alternatif lain, atau karena terpaksa, tidak mungkin bisa memprediksikan bahwa perilaku tersebut merupakan cerminan dari karakternya.
  3. Memberikan peran yang berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan. Misalnya : seorang juru tulis diminta untuk menjadi juru bayar. Dengan peran yang baru ini, akan tampak keasliannya, perilaku yang merupakan gambaran dari karakternya.

B. Model of Scientific Reasoner
Teori ini dikembangkan oleh Harold Kelly. Ia mengajukan konsep untuk memahami penyebab perilaku seseorang dengan memandang pengamat seperti ilmuwan, yang disebut sebagai ilmuwan naïf. Untuk sampai pada suatu kesimpulan atribusi seseorang, diperlukan tiga informasi penting :
  • Distinctiveness
      Konsep ini merujuk pada bagaimana seseorang berperilaku dalam kondisi yang berbeda-beda. Distinctiveness yang tinggi terjadi apabila orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus atau berbeda pada suatu peristiwa. Misalnya : ia hanya tertawa ketika nonton film komedi X, namun ketika nonton film komedi lainnya ia tidak pernah tertawa. Sedangkan distinctiveness yang rendah terjadi apabila orang yang bersangkutan merespon/mereaksi secara sama terhadap stimulus yang berbeda. Misalnya : seseorang yang selalu tertawa bila melihat film komedi. 
  • Konsistensi
      Konsep ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensinya dikatakan tinggi apabila orang yang bersangkutan mereaksi yang sama untuk stimulus yang sama, pada waktu yang berbeda. Misalnya : orang yang selalu tertawa bila melihat lelucon dari pelawak Tessy, baik dulu maupun sekarang, disebut memiliki konsistensi yang tinggi. Sedangkan bila orang tersebut hanya kadang-kadang saja tertawa terhadap lelucon Tessy, ia memiliki konsistensi yang rendah. Konsistensi dikatakan rendah jika orang yang bersangkutan merespon berbeda atau tidak sama terhadap stimulus yang sama pada waktu yang berbeda.
  • Konsensus
Konsep tentang konsensus selalu melibatkan orang lain, sehubungan dengan stimulus yang sama. Apabila orang lain tidak bereaksi sama dengan seseorang berarti konsensusnya rendah, dan sebaliknya jika orang lain juga melakukan hal sama dengan dirinya berarti konsensusnya tinggi.

Dari ketiga informasi tersebut, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelly ada tiga, yaitu :
1. Atribusi internal, yaitu perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya apabila distinctiveness-nya rendah, konsensusnya rendah dan konsistensinya tinggi.
2. Atribusi eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi, konsensusnya tinggi dan konsistensinya juga tinggi.
3. Atribusi internal-eksternal, hal ini ditandai oleh distinctiveness-nya tinggi, konsensusnya rendah dan konsistensinya juga tinggi.

C. Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan
Dua teori atribusi di atas bisa diterapkan secara lebih umum daripada teori yang akan dibicarakan pada bagian ini. Weiner dan Weiner mengkhususkan diri berteori tentang atribusi dalam kaitannya dengan keberhasilan dan kegagalan.
Untuk menerangkan proses atribusi tentang keberhasilan atau kegagalan seseorang maka perlu memahami dimensinya. Terdapat dua dimensi pokok memberi atribusi. Pertama, keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab internal dan eksternal (mirip konsep dari Kelley atau locus of control). Dimensi kedua, memandang dari segi stabilitas penyebab, stabil atau tidak stabil. Dari kedua dimensi tersebut, dapat dilihat ada empat kemungkinan :

Berdasarkan pada tabel di atas, maka dapat dilakukan kategorisasi atau atribusi seseorang. Misalnya mahasiswa yang berhasil menempuh ujian akhir kemungkinan karena selama kuliah memang selalu mendapat nilai baik dan dia memiliki kesanggupan untuk berusaha, maka dia bisa disebut sebagai orang yang cerdas, berbakat atau berkemampuan tinggi. Orang yang demikian bisa diberi atribusi internal-stabil. Bisa juga bukan karena kemampuannya yang memadai, tetapi karena tugas yang dibebankan relatif mudah, berarti atribusinya eksternal-stabil. Contoh atribusi internal-tidak stabil adalah pada kasus orang yang memiliki bakat tetapi keberhasilannya tergantung pada besarnya usaha, sehingga kadang-kadang berhasil tetapi tidak jarang pula gagal. Atribusi eksternal-tidak stabil, contohnya adalah orang yang mendapat undian berhadaih.
Konsep atribusi ini tidak hanya terbatas untuk melihat keberhasilan, tetapi dengan analogi yang sama bisa juga untuk memberi atribusi kegagalan. Contohnya adalah orang pandai, yang biasanya sukses, suatu ketika mengalami kegagalan karena tugas yang dibebankan terlalu berat untuk ditanggung sendirian (eksternal-stabil). 
Pada tahun 1982, Weiner memperluas model atribusinya dengan menambahkan satu dimensi lagi didalam dimensi penyebab internal-eksternal, yaitu dimensi dapat atau tidaknya penyebab itu terkontrol (controllable). Contohnya : untuk atribusi internal-stabil tak terkontrol adalah sukses karena bakat yang luar biasa sehingga jarang mengalami kegagalan.
Ada 3 langkah penerapan teori atribusi dalam pembelajaran terdiri dari
1. Membangun konsep
2. Menanggapi hasil kerja peserta didik
3. Memantapkan pemahaman konsep
Terdapat 3 faktor yang dapat ditemukan di kelas, yang mendukung perlunya teori Weiner
a. Tingkah laku guru yang berlainan yang ditujukan kepada peserta didik yang diyakini tak akan bisa berhasil
b. Penggunaan pujian dan celaan yang berbeda-beda di kelas
c. Ciri siswa/peserta didik
            Tingkah laku guru terhadap peserta didik yang rendah prestasi belajarnya tentu mendapat bimbingan yang berbada dengan peserta didik yang lain. Contohnya ialah, mendudukkan peserta didik yang berprestasi rendah jauh dari guru dan atau didalam kelompok, menuntut kerja dan usaha yang semula jauh dari perhatian guru dikarenakan kurangnya kesempatan untuk menjawab pertanyaan ataupun bertanya.
            Sementara penggunaan pujian dan celaan yang berbeda, dimaksudkan kedalam bentuk pemberian reward dan punishman yang berkaitan dengan bentuk penugasan. Pujian secara khas diberikan untuk usaha yang membuahkan hasil baik. Dalam sebuah penelitian, peserta didik yang mendapat pujian karena sukses ternyata kemampuannya dinilai lebih rendah daripada peserta didik yang menerima celaan.
            Adapun pada ciri peserta didik, terdapat tiga ciri yang berfungsi di dalam kelas terkait mengenai keberhasilan atau kegagalan peserta didik. Ketiga ciri tersebut adalah tingkat perkembangan, rasa harga diri peserta didik dan jenis kelamin.
Yang perlu diperhatikan pada teori Weiner dalam pembelajaran yang terkait dengan keberhasilan dan kegagalan peserta didik, lebih menekankan pada unsur kesiapan peserta didik untuk menerima materi pelajaran, dan didukung oleh serangkain motivasi belajar peserta didik dengan memandang pada iklim kelas yang lebih menekankan pada proses belajar dari pada hasil belajar yang kompetitif. Dengan kata lain, kondisi kelas disusun untuk memperkuat kepercayaan bahwa keberhasilan belajar dapat dicapai dengan jalan usaha yang konstruktif dengan mengembangkan lingkungan proaktif yang positif.